Sponsor

Saturday, August 19, 2017

Nahdlatul Ulama dan Negara

ISLAM NUSANTARA



  ISLAM tradisional Indonesia yang terorganisi ke dalam NU sejak tahun 1926 merupakan fenomena yang unik di dunia Islam. NU sendiri sesungguhnya merupakan suatu perhimpunan "ulama fiqih " (para ulama yang berpengetahuan luas dalam yurisprudensi Islam) dan ulama tarekat (sufi). Organisasi ini pernah aktif berpolitik dan merepresentasikan 18% pemilih Indonesia. Di Pakistan misalnya, yang merupakan negara Islam terdekat dengan dominasi Islam serupa, tidak terdapat formasi yang mirip-mirip NU itu. Ia lebih mirip dengan kelompok tradisional Baralvis dari segi doktrim, namun lebih dekat dengan sekelompok reformis Deobandis dari segi struktur organisasinya. Karena itu, NU berada di antara dua gerakan ini.


   NU bukan semata-mata organisasi para ulama, begitu pula setelah ia menjadi partai politik pada tahun 1952. Ia merupakan suatu perkumpulan dengan kebiasaan memilih yang sama. Sebagaimana dicatat Geertz, partai-partai politik (santri Jawa) lebih merupakan organisasi "sosial, ukhuwah dan keagamaan dengan ikatan-ikatan kekeluargaan, ekonomi dan ideologi yang bergabung untuk menekankan komunitas rakyat ke dalam dukungan jaringan tunggal nilai-nilai sosial yang tidak hanya berkaitan dengan penggunaan yanh tepat terhadap kekuasaan politik namun juga kondisi perilaku dalam wilayah kehidupan yang berbeda banyak (Geertz 1960: 163). NU merupakan jaringan solidaritas pedesaan yang besar terdiri dari petani, para pedagang kecil, para profesional dan para pejabat ke agamaan. Setelah tahun 1952, ia merangkul para politisi yang memiliki latar belakang yang lebih beragam. Di kemudian hari, urbanisasi telah menghasilkan penyerapan penduduk kota yang berlatarbelakang pedesaan. Selanjutnya NU tidak hanya terdiri dan orang-orang kolot atau ketinggalan zaman, namun para pemimpinya yang muda dan terdidik menunjukkan kecenderungan-kecenderungan modern. Sebagian mereka adalah anak-anak kiai yang terdidik, sedangkan yang lainnya merupakan orang luar yanh merasa mempunyai missi untuk memodernisasi partai "yang ketinggalan zaman itu". (Geertz 1960: 163: 371) .

   Sejauh ini tidak ada studi yang mendalam terhadap pemikiran politik NU. Para ahli Indonesia, seperti Anderson dan Ward telah menunjukkan kurangnya studi tentang NU (Anderson 1977: Ward 1974: 90). Dalam sebuah monograf tentang pemilu 1971, Ward me rupakan orang pertama yang melakukan analisis terhadap motif-motif keagamaan di balik perilaku politik NU yang digambarkan secara umum sebagai oportunisistik atau akomodatif (Ward 1974: 93) . Pada tahun 1977, Ben Anderson mencatat bahwa NU pada hakikatnya merupakan suatu organisasi keagamaan yang tidak memiliki gagasan apapun tentang "integrasi regional, nasionalisasi industri dan kebijaksanaan luar negeri", namun paling berkepentingan terhadap isu-isu keagamaan murni dan sangat berhasil dalam membela "kelompok innti (inner core) mereka sendiri" (Anderson 1977: 24) secara tidak langsung anderson mengatakan bahwa suatu gerakan besar relatif berhasil bertahan di bawah rezim Orde Baru Soeharto yang di anggap sekuler oleh sebagian besar sarjana. Mitsuo Nakamuro kemudian menegaskan bahwa NU lebih tertarik pada isu-isu keagamaan ketimbang isu-isu politik dan meninjukan meningkatnya kelesuanya terhadap politik (Nakamura 1961 ).

   Keputusan NU pada tahun 1984 untuk meninggalkan partai Islam, PPP, dan menerima ideologi pancasila sebagai asas tunggal dalam Anggaran Dasarnya, telah menambah perdpektif baru bagi pemikiran politik gerakan tersebut. Dalam tulisan ini, saya berusaha menganalisis bagaimana NU menerima ideologi nasional sebagai "asas tunggal" dan apa dampak tindakan tersebut. Saya akan mulai dengan melukiskan hubungan NU dengan negara pada momen-momen kunci sejarahnya: tradisi sunni tentang legitimasi negara telah diperkuat oleh persamaan-persamaan, termasuk persamaan etnis dengan para nasionalis sekuler. Bagian kedua akan disediakan untuk menilai dampak reorientasi 1984. Telah dinyatakan bahwa saat ini menjadi tahun-tahun klimaks dari upaya sekularisasi dan depolitisasi Islam yang digambarkan lebih dulu oleh banyak sarjana (MacVery 1982: 86; Jenkins 1984: 12; Wertheim 1986: 49; Raillon 1989: 34). Pengamatan lapangan saya pada tahun 1991 dan 1992 menunjukan ikontradiksi bahwa NU telah memperoleh legitimasi baru dan sebagian hasilnya ia kembali memperoleh kepercayaan Umat. Kehidupan keagamaan nampak lebih meningkat daripada yang pernah ia lakukan pada tahun 1970-an. Kecenderungan ini didukung oleh pengamatan-pengamatan mutakhir tentang Islamisasi di Indonesia “(Hefner 1985, 1987; .Abdullah 1987; Pranowo 1991). 

NU dan Negara: 1926-1984

   Sangat memperhatikan masalah-masalah keagamaam, pembelaan yang gigih terhadap prinsip-prinsip Islam, dan syariah meningkanya kedekatan dengan kaum nasionalis dan kesediaan untuk berkompromi demi kesatuan nasional serta penilaian yang realistik terhadap kekuatan Islam, menandai pemikiran Politik NU sepanjang periode sebelum tahun 1965.


No comments:

Post a Comment